Benih Jagung - Mengerek Produktivitas dengan Benih Unggul
Bukan masanya lagi menanam jagung asalan
dengan prinsip “yang penting panen”. Kebutuhan jagung untuk pakan yang kian
meningkat, menuntut jagung untuk dijadikan tanaman utama. Cerdas dan cermat
memilih benih jagung adalah sebuah keniscayaan. Limapuluh persen keberhasilan
panen sudah di depan mata dengan menanam benih yang baik.
Pilihan benih jagung tidak akan terlepas dari
tiga tipe benih, yaitu komposit, hibrida, dan transgenik yang hingga kini masih
menjadi polemik. Menurut Bambang Budhianto, Direktur Benih, Ditjen Tanaman
Pangan, Kementerian Pertanian (Kementan), penggunaan benih hibrida dan komposit
di tingkat petani saat ini cenderung seimbang. “Separuhnya sudah hibrida,”
tuturnya. Dia menghitung, dari kebutuhan benih sekitar 80 ribu ton setiap musim
tanam, porsi benih hibrida sekitar 30 ribu ton, dan sisanya sebanyak 50 ribu
ton merupakan benih komposit.
Hibrida Diminati
Untuk mencapai peningkatan target produksi,
penggunaan benih hibrida memang harus lebih digalakkan. Pasalnya, perbedaan
produksi antara kedua jenis benih ini terbilang signifikan. Jika rata-rata
produksi jagung komposit hanya 3-4 ton/ha, produksi jagung hibrida bisa
mencapai 8-10 ton/ha, bahkan lebih di wilayah tertentu. Bambang menerangkan,
sebagian wilayah tanam jagung yang memang ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan
pakan, sebaiknya dialihkan seluruhnya menjadi jagung hibrida agar produksinya
lebih banyak.
Menurut Ir. Abasa’ir, hasil tinggi memang
menjadi daya tarik hibrida. “Rata-rata biaya produksi kalau di Jawa itu antara
Rp4,5 juta – Rp5 juta/ha untuk perawatan yang sempurna. Jagung hibrida, minimal
tanpa perawatan sempurna itu bisa sekitar 7,7 ton/ha. Padahal kalau dengan
perawatan yang sempurna, bisa dapat 9 ton/ha,” hitung Direktur PT SrijayaInternasional, perusahaan produsen benih jagung hibrida baru yang berlokasi di
Kediri, Jawa Timur ini.
Tidak mudah memang mengalihkan minat petani
dari benih komposit ke hibrida. “Saat ini, hibrida yang ada lebih banyak dari
jenis single cross atau silang
tunggal. Jenis ini kalau budidayanya tidak pas, potensinya tidak akan muncul.
Sedangkan dulu masih ada tipe double
cross atau silang ganda yang kalau budidayanya kurang pas masih bisa
berproduksi,” papar Bambang.
Tipe usaha petani juga menjadi penentu apakah
benih komposit atau hibrida yang akan dipilih. Biasanya, petani yang menanam
jagung sebagai tanaman utama akan memilih benih dengan potensi hasil lebih tinggi
seperti benih hibrida. Sementara, tambah Bambang, petani yang hanya
membudidayakannya sebagai tanaman kedua atau ketiga tidak mau repot-repot
memilih benih hibrida. “Mereka ya nggak akan mau disuruh beli benih yang
mahal-mahal,” tegas doktor bidang teknologi perbenihan dari Massey University,
Selandia Baru, ini.
Kabar baiknya, seiring dengan meningkatnya
pemahaman petani terhadap budidaya, pengguna benih hibrida semakin banyak.
“Benih hibrida memang masuknya dulu cukup berat di kalangan petani, sekarang
minatnya luar biasa. Bahkan sekarang hampir 90% tanaman jagung di Jawa itu
hibrida murni,” ujar Abas.
Hibrida Unggulan
Dengan segala keunggulannya, berbagai
varietas hibrida pun bermunculan. Selain perusahaan benih multinasional seperti
PT BISI International atau PT DuPont Indonesia, perusahaan benih lokal juga
mulai bermunculan. “Perusahaan benih yang kecil-kecil ini tumbuh besar sekali.
Varietas yang kita gunakan biasanya dari Balitsereal (Balai Penelitian
Serealia), Maros. Kita ingin hasil penelitian dari Balitsereal ini bisa
dikembangkan di lini nusantara,” tutur Abas.
Dia mencontohkan, PT Srijaya Internasionalmengembangkan benih jagung hibrida BIMA 5, dan BIMA 14 dengan merek Bumisari
919 dan Premium 919. BIMA 14 diunggulkan karena umur panen yang pendek sekitar
95 hari, dan potensi hasil yang lebih dari 12 ton/ha. “Kalau BIMA 5 itu potensi
hasilnya bisa di atas 13 ton/ha dengan umur panen 110 hari. Kedua varietas ini
di NTB ada 4 kabupaten/kota, dan di NTT. Ini pasar yang paling besar,”
paparnya.
Produktivitas tinggi memang menjadi unggulan,
tetapi kedua varietas hibrida ini juga diklaim tahan bulai, penyakit yang
paling ditakuti petani jagung. “Kami bahkan memberanikan diri, apabila terjadi
bulai di petani, akan kami ganti benihnya,” tandas Abas
Pilihan Transgenik
Setelah hibrida sedikit demi sedikit
menggantikan komposit dalam mencapai produksi tinggi, pada tahap selanjutnya
benih hasil rekayasa genetika akan mengambil posisi. Berdasarkan data PG
Economics Limited, sebuah lembaga konsultan internasional untuk agribisnis dan
sumberdaya alam, selama 17 tahun sudah 15 juta petani di negara-negara
berkembang yang telah merasakan keuntungan dari bioteknologi.
“Tanaman bioteknologi telah membantu petani
baik di negara maju maupun berkembang untuk meningkatkan produktivitas
sekaligus penghasilan mereka,” urai Graham Brooks, Direktur PG Economics
Limited, dalam “International Workshop, Assesing the Global Impact of Crop
Biotechnology in Improving the Environtmental and Economy”, di Bogor,
Rabu(28/5) lalu.
Senada dengan Brooks, Dr. Arief Daryanto
mengungkapkan, peningkatan produktivitas sudah pasti akan diraih petani.
“Berdasarkan studi yang telah dilakukan IPB, dengan adopsi tanaman biotek
jagung, petani kita dapat meningkatkan produksi hingga 14% dan peningkatan
pendapatan sebanyak Rp2,45 juta per musim tanam,” cetus Direktur Program
Pascasarjana Manajemen Bisnis, IPB ini pada kesempatan yang sama.
Kontribusi jagung bioteknologi yang sudah
terbukti adalah mengurangi penggunaan pestisida serta mengurangi risiko gagal
panen akibat hama penyakit sehingga mempengaruhi peningkatan produksi tanaman.
Sayangnya, selama 8 tahun, izin penerapannya di Indonesia masih abu-abu.
Padahal, melihat potensi yang ada, penerapan tanaman bioteknologi dapat
menjawab tantangan peningkatan produksi dan produktivitas jagung nasional.
“Sekarang ini KTNA sedang push the
government (mendesak pemerintah) untuk segera menyetujui dan merilis benih
bioteknologi untuk ditanam di lahan mereka. Karena mereka telah melihat
keunggulannya,” tandas Arief.
Sumber : Tabloid Agrina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar