Benih Jagung - Jagung Pakan 100% dari Lokal, Mampukah?
Bisnis
jagung pakan ternak tetap seksi untuk dilirik. Benang kusut antara kebutuhan
dan ketersediaan masih belum terurai dengan sempurna.
Bertambahnya
jumlah pabrik pakan dalam beberapa tahun terakhir dipastikan ikut mendongkrak
kebutuhan jagung nasional. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pada 2013
saja jumlah pabrik pakan di Indonesia mencapai 68 pabrik dengan kapasitas
produksi sekitar 18,5 juta ton. Dengan produksi jagung nasional pada tahun
tersebut yang mencapai 18,51 juta ton, hanya dapat menyerap sekitar 20% - 22%
dari total produksi.
“Industri
pakan ini ‘kan tumbuh terus. Berdasarkan data GPMT (Asosiasi Produsen Pakan
Indonesia), kurang lebih tahun lalu produksi pakan sekitar 13,3 juta – 13,6
juta ton. Tahun 2014 ini saya perkirakan mencapai 14,2 juta ton, kemudian 2015
kira-kira 15,3 juta ton,” ungkap drh. Totok Setyarto, Marketing Director
Cargill Feed & Nutrition, PT Cargill Indonesia. Dari data tersebut, Totok
memperkirakan pada 2020 mendatang produksi pakan menyentuh akan angka 22,5 juta
ton.
Produksi
pakan yang terus meningkat itu akan berbanding lurus dengan peningkatan
kebutuhan jagung sebagai bahan baku utama pakan yang porsinya mencapai 50% -
55%. Dilihat dari produksi pakan, maka kebutuhan jagung untuk pakan pada tahun
ini diperkirakan sekitar 7,1 juta ton dan akan terus meningkat hingga 11,25
juta ton pada 2020 mendatang.
Sanggupkah
kita memenuhinya? Dengan kebutuhan 7 juta ton pada 2013 saja, GPMT mencatat
jumlah impor untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pakan sebanyak 3,2 juta ton
dan akan menjadi sekitar 3,5 juta ton pada tahun ini. Prediksi ini seharusnya
menjadi alarm bagi para stakeholders jagung
nasional. Mampukah jagung nasional memenuhinya? Atau jangan-jangan justru
jumlah impor akan semakin membengkak setiap tahun?
Perkembangan Jagung Dunia
Tidak
hanya di Indonesia, perkembangan industri jagung di dunia juga menarik untuk
dicermati. Amerika Serikat yang sejak 1960 dikenal sebagai produsen jagung
terbesar di dunia, saat ini posisinya tergeser oleh Brasil. Sementara sebagai
negara berkembang, Indonesia menjadi satu dari lima negara dengan potensi
pertumbuhan konsumsi yang kuat bersama dengan Brasil, Rusia, Vietnam, dan
Mesir.
Saat ini,
data The Chart of the Day, Chicago, menunjukkan Brasil mengukuhkan posisi
sebagai produsen jagung dunia nomor satu setelah Amerika Serikat terus
mengalami penurunan produksi dalam tiga tahun terakhir. Produksi jagung di
Negeri Samba saat ini memang meningkat dua kali lipat sejak 2005. Sementara, sejak Amerika Serikat mengalami
penurunan produksi jagung sebesar 13% akibat kemarau panjang.
Namun,
International Grains Council yang berpusat di London, Inggris memprediksikan,
walaupun masalah iklim masih menghantui, penanaman jagung di Amerika Serikat
tetap relatif tinggi pada musim tanam 2013-2014 lalu. Sementara untuk musim
tanam 2014-2015, diperkirakan penanaman di negara adidaya itu akan berkurang.
Sementara
di Asia, China menunjukkan perkembangan industri jagung secara signifikan. Area
penanaman jagung di Negara Tirai Bambu ini meningkat hampir 50% dibandingkan
satu dekade lalu. Perkembangan ini didukung oleh kebijakan pemerintah yang kuat
dan harga pasar yang tinggi. Tidak hanya
produksi, konsumsi jagung pakan di China diperkirakan akan menjadi yang
terbesar di dunia.
Industri
jagung Indonesia sangat erat kaitannya dengan perkembangan jagung di dunia,
apalagi menyangkut harga. “Kalau pricing
tetap tergantung dunia. Perdagangan sekarang memang akan menjadi perdagangan
dunia. Karena Asia itu penduduknya banyak tapi lahannya sedikit. Sementara
Amerika itu penduduknya sedikit tapi lahannya banyak. Jadi sampai kapanpun,
memang pangan itu akan mengalir dari sana (Amerika) ke sini (Asia),” terang
Totok.
Mengapa Impor?
Di tengah
perkembangan jagung dunia, tanda tanya besar masih menggantung di tengah
industri jagung Indonesia, mengapa kebutuhan jagung untuk pakan tidak bisa
dipenuhi dari jagung lokal? Padahal, produksi nasional sangat jauh melebihi
kebutuhan pabrik pakan. Untuk 2014 ini, Kementerian Pertanian menargetkan
produksi jagung mencapai 20,82 juta ton atau naik 12,48% dari produksi 2013.
“Produksi
jagung dari tahun 2010 ke 2011 dan 2012 memang ada peningkatan ya. Kalau kita
melihat data USDA (Kementerian Pertanian Amerika Serikat), data tahun 2011 itu
8,8 juta ton, kemudian turun menjadi 8,5 juta. Nah diperkirakan tahun 2014 dan
2015 itu nggak akan berubah, sekitar 9,1 juta - 9,2 juta ton. Patokan saya data
ini,” tutur Totok.
Berdasarkan
hitungannya, dengan kebutuhan industri pakan yang hanya sekitar 6,75 juta ton
pada 2012 ditambah dengan kebutuhan jagung untuk pangan yang sekitar 2 juta - 3
juta ton, seharusnya paling tidak impor yang dilakukan hanya sekitar 1 juta
ton. Lagi pula, jagung lokal akan selalu menjadi pilihan bagi pabrik pakan.
FX
Sudirman, Ketua Umum GPMT di berbagai kesempatan mengatakan, impor sebenarnya
selalu menjadi pilihan terakhir pabrik pakan. “Kalau ada jagung lokal, pasti
itu yang akan menjadi prioritas pabrik pakan. Pertama, kualitas jagung lokal
lebih baik. Yang kedua, harganya lebih murah karena kalau jagung impor ‘kan
mesti nambah ongkos angkut lagi,” ujarnya.
Pendapat
itu disetujui Totok. “Impor itu ribet. Apalagi dengan kurs dollar yang tidak
menentu seperti sekarang. Bayangkan, kalau impor itu 2-3 bulan kemudian baru
datang. Kalau transaksi sekarang katakanlah harganya US$280, awalnya dihitung
dengan kurs masih Rp10 ribu, berarti Rp2.800. Nah sekarang Rp12.000 berapa?
Jadi hampir Rp3.400, belum kena tax
5%. Sementara harga jagung lokal itu paling mahal Rp3.400/kg. Kalau ngomong
rasional bisnis, kenapa impor? Ya karena nggak ada barangnya,” tegas lulusan
Fakultas Kedoteran Hewan IPB tersebut.
Bicara
kualitas, Sudirman mengakui kualitas jagung dari India yang biasa diimpor pabrik
pakan, masih di bawah kualitas jagung lokal. Dengan sistem pertanian yang tidak
jauh berbeda dengan di Indonesia, pengelolaan pascapanen di negara Bollywood
itu pun tidak terlalu siap. “Banyak juga yang impor dari India, ketika kita
buka kontainer jagungnya sudah tumbuh. Jadi kita harus pilih-pilih juga,”
imbuhnya.
GPMT
menerapkan standar yang cukup ketat dalam pembelian jagung lokal. Kadar air
jagung maksimal 15%, kandungan aflatoksin maksimal 100 ppb, butir rusak
maksimal 3%, serta butir berjamur, butir pecah, dan kandungan benda asing
maksimal 2%. Selain itu, tidak berkutu atau serangga apapun, serta masih segar
alias tidak berbau.
Sudirman
menambahkan, “Infrastruktur kurang baik. Program yang ada baru pada tahap
produksi. Padahal dalam industri atau sistem pertanian ini, sistem produksi
adalah satu hal. Ada yang lebih penting lagi yaitu pascapanen,” tukasnya kepada
AGRINA di beberapa kesempatan berbeda.
Kawasan Jagung
Rencana
pengembangan kawasan budidaya jagung atau corn
estate untuk memenuhi kebutuhan pabrik pakan sudah lama mengemuka.
Menanggapi hal ini, Totok mengingatkan, ”Kita harus melihat, kita mau
produktivitas ini naik di jangka pendek atau jangka panjang? Corn estate fine, tapi targetnya kapan
akan menambah pasokan buat industri ini kira-kira kapan sih? Lebih enak
intensifikasi ’kan?” cetusnya.
Salah satu
yang terbilang sukses merintis corn
estate adalah Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan
memanfaatkan lahan tidur. Saat ini
bahkan pengembangan wilayah jagung tidak hanya terpusat di kabupaten ini. ”Saya
ikut merintis NTB sebagai salah satu sentra produksi jagung nasional. Dari
produksi hanya 140 ribu ton pada awalnya, dalam 3 tahun sudah masuk pada
produksi sampai sekitar 400 ribu ton,” kata Pending Dadih Permana, Direktur
Pascapanen Tanaman Pangan, Ditjen Tanaman Pangan, Kementan.
Mantan
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi NTB 2008-2010 ini menuturkan,
pengembangan kawasan jagung di Dompu ini tidak hanya melibatkan petani, tetapi
juga pemerintah, dan pihak swasta. Pemerintah berperan dalam fasilitasi,
membuat program rintisan sehingga menjadi jembatan masuknya investasi.
Selanjutnya, pihak swasta ikut mengembangkan dari sisi pendampingan budidaya
hingga pascapanen.
Program
unggulan ini terus berjalan. Untuk 2013-2014, pemerintah Provinsi NTB
menargetkan luas tanam jagung hingga 122 ribu ha dengan produksi 767.136 ton.
Sementara Dompu sebagai perintis kebagian 31.555 ha dengan target produksi
199.751 ton.
Salah satu
kunci suksesnya pengembangan wilayah ini adalah dukungan penuh dari pemerintah
daerah. Selain Dadih, Dompu mendapat dukungan penuh program pengentasan
kemiskinan dari pemerintah provinsi, dan dari sang bupati sendiri, Bambang M.
Yasin. ”Salah satu yang bisa membangkitkan gairah petani itu ya kepala
daerahnya. Seperti Bambang, Bupati Dompu, dia bangun, dia promosi, dan orang
mulai tanam. Bupatinya bangun drying
centre yang nonprofit, semua petani boleh datang dengan prinsip first come, first serve. Itu sistem
ekonomi yang dia pasarkan,” terang Dr. Ir. Farid A. Bahar, M.Sc, Tim Pakar
Dewan Jagung Nasional.
Bangun Mitra
Peningkatan
produksi dan produktivitas sekaligus pengembangan wilayah akan lebih mudah
tercapai jika digabungkan dalam kemitraan. Namun, untuk masalah jagung, tidak
seperti kemitraan pada kelapa sawit, tidak banyak program kemitraan yang
bertahan. Perusahaan besar yang ingin bermitra akan berurusan dengan banyak
pihak pemain pasar yang tidak bisa diabaikan. Kemitraan lebih mudah dibangun
dengan skala kecil secara bertahap.
Contoh
kemitraan skala kecil dijalankan oleh perusahaan benih jagung hibrida PTSrijaya Internasional yang dilaksanakan di Nganjuk, Tuban, dan Sumbawa. “Di
samping menyediakan benih, kita juga menyediakan tenaga penyuluh di lapangan
yang biasanya merangkap menjadi distributor. Jadi harus seorang yang kompeten
di bidangnya,” jelas Ir. Abasa’ir, Direktur perusahaan benih tersebut.
Dua jenis
kemitraan dijalankan Abas. Pertama berupa kemitraan produksi benih dengan 200
petani anggota, yang kedua adalah kemitraan jagung untuk pakan. Keduanya
memberikan bantuan berupa benih kepada petani disertai jaminan pembelian hasil
panen.
Untuk
meyakinkan petani, Abas turun langsung dalam penandatanganan perjanjian dengan
petani. “Yang penting kepercayaan,” tukasnya. Dia melanjutkan, “Karena
pengalaman mereka dengan perusahaan besar sebelumnya, ketika petani panen,
hasilnya tidak diambil, tidak dibayar. Jadi pendekatannya memang susah.
Akhirnya sekarang sudah ada 100 ha,” paparnya.
Lain lagi
metode kemitraan yang dijalankan di Dompu, NTB. Tidak melulu mengharapkan
subsidi dan bantuan sarana produksi dari pemerintah, petani dilatih untuk
mandiri dan berbisnis seperti dengan membuka akses kredit ke bank. Hasilnya,
kredit usaha rakyat (KUR) BRI di Dompu tumbuh hingga 600%, dari Rp32 miliar
pada 2010 menjadi Rp165 miliar pada 2014 ini.
Sementara,
Cargill Grain and Oilseed Supply Chain akan membangun kemitraan dengan petani
bekerja sama dengan PISAgro (Kemitraan Pertanian Berkelanjutan Indonesia) yang
beranggotakan 13 perusahaan nasional dan multinasional. “Selanjutnya mungkin
kita akan membangun kemitraan dengan pihak processing,”
tandas Totok.
Peluang
pasar lokal bahkan dunia terpampang nyata di depan mata. Ragam pilihan upaya
peningkatan produksi dan produktivitas dengan keunggulan dan kelemahannya
masing-masing. Seharusnya, dari pilihan-pilihan cara pengembangan tersebut,
kebutuhan jagung bagi pabrik pakan tidak lagi menjadi sesuatu yang membingungkan.
Sumber : Tabloid Agrina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar